1.
Fase Pembentukan (mulai tahun 1961 s/d 1976)
Kelahiran IPM bersamaan dengan masa dimana pertentangan idiologis
menjadi gejala yang menonjol dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia
dan dunia pada waktu itu. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya
polarisasi kekuatan tidak hanya dalam persaingan kekuasaan di lembaga
pemerintah, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti
ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran
bila pada saat awal keberadaannya IPM banyak terfokus pada upaya untuk
mengkonsolidasikan dan menggalang kesatuan Pelajar Muhammadiyah yang tersebar
di seluruh Indonesia dalam wadah IPM.
Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader
dan dakwah banyak menjadi perhatian pada waktu itu. Upaya ini mulai dapat
terwujud setelah IPM dapat merumuskan Khittah Perjuangan IPM, Identitas IPM,
dan Pedoman Pengkaderan IPM (hasil Musyawarah Nasional/Muktamar ke-2 di
Palembang tahun 1969). Fase pembentukan IPM diakhiri pada tahun 1976 yaitu
dengan keberhasilan IPM merumuskan Sistem Pengkaderan IPM (SPI) hasil Seminar
Tomang tahun 1976 di Jakarta. Dengan SPI yang telah dirumuskan tersebut, maka
semakin terwujudlah bentuk struktur keorganisasian IPM secara lebih nyata
sebagai organiasai kader dan dakwah yang otonom dari persyarikatan
Muhammadiyah.
2.
Fase Penataan (mulai tahun 1976 s/d tahun 1992)
IPM memasuki fase penataan ketika bangsa Indonesia tengah
bersemangat mencanangkan pembangunan ekonomi sebagai panglima, dan memandang
bahwa gegap gempita persaingan ideologi dan politik harus segera diakhiri jika
bangsa Indonesia ingin memajukan dirinya. Situasi pada saat itu menghendaki
adanya monoloyalitas dalam berbangsa dan bernegara dengan mengedepankan
stabilitas nasional sebagai syarat pembangunan yang tidak bisa ditawar lagi.
Dalam keadaan seperti ini menjadikan organisasi-organisasi yang berdiri sejak
masa sebelum Orde Baru harus dapat menysuaikan diri. Salah satu kebijakan
pemerintah yang kemudian berimbas bagi IPM adalah tentang ketentuan OSIS sebagai
satu-satunya organisasi pelajar yang eksis di sekolah. Keadaan ini menyebabkan
IPM mengalami kendala dalam mengembangkan keberadaannya secara lebih leluasa
dan terbuka. Agenda Permasalahan IPM
yang membutuhkan perhatian khusus untuk segera dipecahkan pada waktu adalah
tentang keberadaan IPM secara nasional yang dipermasalahkan oleh pemerintah
karena OSIS lah satusatunya organisasi pelajar yang diakui eksistensinya di
sekolah. Konsekwensinya semua organisasi yang menggunakan kata-kata pelajar
harus diganti dengan nama lain. Pada awalnya IPM dan beberapa organiasai
pelajar sejenis berusaha tetap konsisten dengan nama pelajar dengan berharap
ada peninjauan kembali kebijaksanaan pemerinta tersebut pada masa mendatang.
Namun konsistensi itu ternyata membawa dampak kerugian yang tidak sedikit bagi
IPM karena kemudian kegiatan IPM secara nasional seringkali mengalami hambatan
dan kesulitan penyelenggaraannya. Disamping itu beberapa organisasi pelajar
yang lain yang senasib dengan IPM satu-persatu mulai menyesuaikan diri,
sehingga IPM merasa sendirian memperjuangkan konsistensinya. Pada sisi lain IPM merasa perlu untuk segera
memperbaharui visi dan orientasi serta mengembangkan gerak organisasi secara
lebih luas dari ruang lingkup kepelajaran memasuki ke dunia keremajaan sebagai
tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Maka tanggal 18 November 1992
berdasarkan SK PP Muhammadiyah No. 53/SK-PP/ IV.B/1.b/1992 Ikatan Pelajar
Muhammadiyah secara resmi berubah menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah.
3.
Fase Pengembangan (mulai tahun 1992 s/d 2008)
Perubahan nama IPM menjadi IRM beriringan dengan situasi bangsa
Indonesia tengah menyelesaikan PJPT I (Pembangunan Jangka Pendek Tahun I) dan
akan memasuki PJPT II. Banyak kemajuan yang telah diperoleh bangsa Indonesia
sebagai hasi PJPT I, diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin baik
dan pesat, stabilitas nasional yang semakin mantap, dan tingkat pendidikan,
kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat semakin baik. Namun demikian ada
beberapa pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bangsa Indonesia pada
PJPT II antara lain: masalah pemerataan pembangunan dan kesenjangan ekonomi,
demokratisasi, ketertinggalan di bidang IPTEK, permasalahan sumber daya
manusia, dan penegakan hukum dan kedisiplinan.
Sementara itu, era 90-an ditandai dengan semakin maraknya kesadaran
ber-Islam diberbagai kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Di samping itu
peran dan partisipasi ummat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga
semakin meningkat. Kondisi yang demikian memberi peluang bagi IRM untuk dapat
berkiprah lebih baik lagi.
Pada sisi lain, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi semakin
membawa manusia ke arah globalisasi yang membawa banyak perubahan pada berbagai
sisi kehidupan manusia. Tatanan sosial, budaya, politik, dan ekonomi banyak
mengalami perombakan drastis. Salah satu perubahan mendasar yang akan banyak
membawa pengaruh bagi bangsa Indonesia adalah masalah liberalisasi ekonomi.
Liberalisasi ekonomi sebagaimana telah diputuskan dalam konferensi APEC merupakan
kebijakan yang tidak terelakkan karena mulai tahun 2003 mendatang Indonesia
harus memasuki era AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dilanjutkan pada tahun
2020 dalam skema liberalisasi perdagangan yang lebih luas di Asia Psifik.
Pengaruh liberalisasi ekonomi ini akan berdampak luas tidak hanya dalam aspek
ekonomi saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Salah satu dampak yang sekarang sangat
dirasakan adalah munculnya krisis moneter yang terjadi di Asia Tenggara dan
sebagian Asia Timur. Munculnya krisis yang dimulai dengan timbulnya depresi
mata uang, disebabkan oleh ketidakpastian perangkat suprastruktur dan
infrastruktur baik ekonomi maupun politik dalam mengantisipasi dampak
globalisasi perdagangan.
Fenomena ini kemudian memunculkan tuntutan reformasi di bidang
ekonomi dan politik sebagai prasyarat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan
persoalan krisis. Di Indonesia sebagai salah satu negara yang terkena krisis
dan menderita paling parah juga muncul tuntutan reformasi. Fenomena reformasi
yang dituntut masyarakat Indonesia adalah reformasi yang mendasar diseluruh
bidang baik di bidang ekonomi, budaya, politik bahkan sampai reformasi moral.
Tuntutan reformasi ini jelas mendesak IRM untuk melakukan peran dan fungsinya
sebagai organisasi keagamaan dan dakwah Islam dikalangan remaja menjadi lebih
aktif dan responsif terhadap perkembangan perjalanan bangsa menuju masyarakat
dan pemerintahan yang bersih dan modern.
Dalam kondisi yang demikianlah IRM memasuki fase pengembangan, yaitu
perkembangan pasca perubahan nama IPM menjadi IRM hingga terselenggaranya
pelaksanaan pola kebijakan jangka panjang IRM pada Muktamar XII.
Diharapkan nantinya IRM telah mencapai kondisi yang relatif mantap
baik secara mekanisme kepemimpinan maupun mekanisme keorganisasian sehingga
mampu secara optimal menjadi wahana penumbuhan dan pengembangan potensi sumber
daya remaja. Pengelolaan sumber daya yang dimiliki Ikatan Remaja Muhammadiyah
harus didukung dengan adanya peningkatan kapasitas kualitas pemimpin, mekanisme
kerja yang kondusif yang seiring dengan kemajuan zaman, serta pemantapan dan
pengembangan gerak Ikatan Remaja Muhammadiyah yang berpandangan ke depan namun
tetap dijiwai oleh akhlak Mulia. IRM dituntut untuk dapat menyiapkan dasar yang
kokoh baik secara institusional maupun personal sehingga tercipta komunitas
yang kondusif bagi para remaja sehingga dapat menghadapi setiap perkembangan
zaman yang ada.
4.
Fase Kebangkitan (mulai tahun 2006 s.d 2010)
Pada fase ini, terhitung sejak delapan tahun sebelumnya dimana
bangsa Indonesia sedang ramai menyambut masa baru yang diharapkan dapat
melakukan perubahan bangsa yang lebih baik yaitu masa reformasi tahun 1998.
Akan tetapi pada kenyataannya pasca reformasi hingga tahun 2006 yang telah
dipimpin oleh tiga kepemimpinan presiden yang berbeda (Bpk. Abdurrahman Wahid,
Ibu Megawati Soekarno Putri dan Bpk.
Susilo Bambang Yudhoyono), tidak kunjung membawa perubahan yang lebih
baik bagi bangsa, bahkan memunculkan penyakitpenyakit baru di negeri ini.
Demikian juga hingga saat ini, memasuki masa kepemimpinan “Kabinet Indonesia
Bersatu jilid II”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah menunjukkan
kesempurnaan hancurnya negeri ini, seperti yang banyak diungkapkan oleh para
ahli dan pakar, serta pengamat politik di Indonesia. Karena bangsa ini sedang
dipimpin oleh para pemimpin bangsa yang cenderung korup dan senang menjual
bangsanya ke negara asing atau bisa dikatakan kepemimpinan bangsa yang tidak
lagi memiliki karakter kepemimpinan yang selalu siap membela rakyatnya, membawa
rakyatnya kepada kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Hal ini dapat dilihat dari maraknya korupsi disemua jenjang
struktur pemerintahan yang ada, permainan politik yang tidak mencerdaskan
rakyat justru melakukan pembodohan pada masyarakat dan masih banyak lagi
persoalan bangsa yang melekat di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa betapa
bangsa ini sedang krisis disegala bidang, bahkan krisis moral pemimpin
bangsa. Dari sinilah IRM yang kemudian
kembali berubah nama menjadi IPM pada tahun 2008 dituntut untuk terus berperan
dalam melakukan gerakan dakwahnya, khususnya dikalangan remaja/pelajar sebagai
penerus estafeta kepemimpinan bangsa beberapa tahun mendatang. Di tengah
kondisi bangsa yang sedang krisis disegala bidang dan dilanda banyaknya musibah
atau bencana alam yang tidak kunjung selesai pada tahun 2004-2009 (kepemimpinan
presiden SBY) kala itu. Di tubuh IRM-pun pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan,
turut merespon kondisi bangsa kala itu. Karena IRM sangatlah sadar sekali akan
gerakan sosial yang dilakukan berlandaskan pada nilainilai perjuangan untuk
melakukan suatu perubahan yang lebih baik, yang kemudian sangat dikenal dengan
Gerakan Kritis Transformatif (GKT)-nya.
Akan tetapi cenderung mengalami pergeseran pergerakan yang kemudian
menjadi meluas dan tidak lagi fokus terhadap bassis massa yang seharusnya
menjadi perhatian utama oleh IRM sebagai organisasi remaja/pelajar
Muhammadiyah. Oleh karena itulah,
kemudian pada Muktamar XIV tahun 2006 di Medan kembali menyuarakan agar IRM
kembali berubah nama menjadi IPM dengan beberapa alasan diantaranya; Masa Orde
Baru telah runtuh, kini telah lama memasuki masa reformasi dan sudah tidak ada
lagi tekanan dari pemerintah bahwa satu-satunya organisasi pelajar di sekolah
hanyalah OSIS, maka IPM dapat kembali ke bassis massanya secara riil yaitu
“pelajar”. Dan yang kedua, IRM harus kembali pada fokus gerakannya sebagai
bassis massa utama yaitu “pelajar”. Karena pelajar dan pendidikan merupakan
salah satu pilar utama dalam melakukan perubahan bangsa yang lebih baik beberapa
tahun kedepan.
Meskipun kemudian belum secara menyeluruh menemukan kesepemahaman
atau kesepakatan bersama untuk merubah nama IRM menjadi IPM, akan tetapi proses
prubahan nama tersebut telah berjalan, yang kemudian pada forum Muktamar
tersebut memutuskan untuk pembentukan tim eksistensi IRM. Hingga pada akhirnya gong perubahan nama
tersebut diperdengarkan lebih cepat sebelum kinerja tim eksistensi dapat
menghasilkan sesuatu yang matang untuk IRM/IPM kedepan. Pada keputusan Tanwir
Muhammadiyah pada tahun 2008 di Yogyakarta, Muhammadiyah memutuskan perubahan
nomenklatur IRM menjadi IPM kembali. Hingga pada akhirnya pintu gerbang IPM-pun
kembali terbuka, dan IRM resmi kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar
XVI pada tahun 2008 di Solo. Kini IPM-pun kembali pada bassis massa dan fokus
gerakannya yaitu membela kaum pelajar dan memperjuangkan pendidikan yang lebih
baik, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itulah IPM saat
ini kembali ke sekolah (back to shcool), kembali memperjuangkan hakekat
pendidikan yang sesungguhnya, yang dapat menghasilkan “Insan Indonesia yang
cerdas dan kompetitif”, sesuai dengan visi pendidikan nasional. Melalui berbagai macam pelatihan,
seminar-seminar, workshop dan lain sebagainya IPM melakukan proses penyadaran
terhadap pelajar akan peran serta fungsi pelajar sebagai obyek maupun subyek
dari proses pembelajaran dan perubahan. Serta melakukan proses pemberdayaan dan
pembelaan terhadap pelajar yang selama ini selalu saja dijadikan sebagai obyek
dari sistem yang tidak mencerdaskan, akan tetapi lebih kepada pendeskriditan
pelajar demi kepentingan sepihak atau kelompok tertentu. Padahal disisi lain,
seiring dengan perkembangan zaman yang ada, baik dari segi teknologi,
komunikasi atau ilmu pengetahuan pada umumnya menjadi tantangan yang besar bagi
pelajar. Menuntut para pelajar agar dapat berjuang lebih keras lagi
(kompetitif) dan kreatif dalam bertindak dan menciptakan sesuatu yang lebih
bermanfaat bagi ummat dan bangsa.
Oleh karena itulah, hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi IPM
untuk merumuskan suatu rumusan gerakan IPM yang sesuai dengan tantangan dan
perkembangan zaman yang sedang dihadapi pelajar saat ini. Akhirnya pada
Muktamar XVII pada tahun 2010 di Yogyakarta kemarin, IPM kembali mendeklarasikan
satu gerakan yang saling terkait dengan gerakan-gerakan IPM yang pernah ada
sebelumnya. Gerakan tersebut dinamakan sebagai “Gerakan Pelajar Kreatif”, yang
kemudian melahirkan satu visi IPM satu periode ini, hingga tahun 2012, yaitu
“Menjadikan IPM sebagai Rumah Kreatif Pelajar Indonesia”. Semoga IPM dapat
mengimplementasikan gerakan yang ada secara massif dan progressif, sehingga
dapat mencapai visi IPM yang telah dicanangkan dalam rangka mewujudkan “Pelajar
Muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil dalam rangka menegakkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenarbenarnya”.
Sumber: Pedoman Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah, PP IPM
Muhammadiyah.
Jayalah IPM Al-Mujahidin
ReplyDeleteTrimakasih kak Abdul Rosyid Ridwan
DeleteTumbuhlah dengan lekas, PR IPM SMAM Al-Mujahidin! Semoga sukses jalanmu untuk terus berbagi ilmu dengan lainnya! Good luck and Man jadda, wajada!
ReplyDelete